Pengelolaan Lahan Pasca Penambangan Batubara di Kalimantan
PENDAHULUAN
Batubara
Batubara adalah
sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya
berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batubara adalah bahan bakar fosil. Batu
bara dapat terbakar, terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama
terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan
yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh
kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk
lapisan batubara.
Jenis-jenis Batu Bara
Tingkat
perubahan yang dialami batubara, dari gambut sampai menjadi antrasit disebut
sebagai pengarangan memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut
disebut sebagai ‘tingkat mutu’ batubara. Batubara dengan mutu yang rendah,
seperti batubara muda dan subbitumen biasanya lebih lembut dengan materi yang
rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Batubara muda memilih tingkat
kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah, dan dengan demikian
kandungan energinya rendah.
Batubara dengan
mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan kuat dan seringkali berwarna
hitam cemerlang seperti kaca. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi memiliki
kandungan karbon yang lebih banyak, tingkat kelembaban yang lebih rendah dan
menghasilkan energi yang lebih banyak. Antrasit adalah batubara dengan mutu
yang paling baik dan dengan demikian memiliki kandungan karbon dan energi yang
lebih tinggi serta tingkat kelembaban yang lebih rendah.
KONDISI WILAYAH
Pulau
Kalimantan selain kaya dengan keanekaragaman hayati, ternyata memiliki
kandungan bahan galian yang cukup potensial untuk ditambang. Jenis-jenis bahan
galian yang terdapat di Kalimantan menurut golongannya antara lain adalah :
bahan galian golongan A : batubara, minyak bumi, nikel, besi dan mineral berat;
bahan galian golongan B : emas, intan, timah hitam dan seng, antimon, pasir
kwarsa, kaolin, gips, fosfat, kwarsa kristal dan golongan C adalah batu kapur,
batu gunung, batu kerikil, pasir dan tanah liat. Sampai saat ini, penambangan
batubara telah dilakukan dan juga direncanakan di berbagai lokasi yang tersebar
dibeberapa Provinsi, di wilayah Kalimantan. Sebagian besar potensi tambang
batubara tersebut terdapat di dalam kawasan hutan, bukan hanya di dalam kawasan
hutan produksi tetapi juga terdapat di dalam beberapa kawasan lindung seperti
taman nasional.
PERMASALAHAN
Secara umum,
tahapan penambangan batubara meliputi : (1) pembersihan lahan/pembebasan
vegetasi (land clearing); (2) pengupasan dan penimbunan tanah penutup; (3)
penggalian batubara; (4) penirisan tambang; (5) pengangkutan dan (6) reklamasi
lahan bekas penambangan. Tahapan operasional penambangan tersebut dapat
berlangsung pada suatu unit lokasi penambangan dan dimungkinkan pula dapat
terjadi secara simultan di beberapa lokasi penambangan, (Stefanko, R, 1983).
Pada umumnya,
rehabilitasi lahan tempat penimbunan batuan penutup penggalian batubara
meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) perencanaan rehabilitasi lahan;
(2) pemindahan tanah, (top soil dan sub soil); (3) penempatan batuan penutup
yang be ras al dari lubang tambang (pit); (4) pembentukan timbunan batuan
penutup agar lerengnya tidak terlalu curam; (5) penutupan timbunan dengan
lapisan tanah lempung yang dipadatkan atau lapisan batuan yang tidak reaktif
untuk mencegah terjadinya air asam tambang; (6) pembuatan sarana drainase,
untuk mengendalikan aliran air permukaan; (7) penempatan tanah di atas
permukaan timbunan batuan penutup; (8) penanaman vegetasi; (9) pemeliharaan tanaman
dan (10) pemantauan periodik.
Dampak negatif
dari kegiatan pembersihan lahan, pengupasan dan penimbunan tanah penutup dan
penggalian batubara bila tidak segera diatasi akan meninggalkan dampak negatif
yang berpotensi menimbulkan permasalahan. Misalnya, keterlambatan dalam
pengelolaan tanah galian dan tanah timbunan dapat mengakibatkan terjadinya
erosi dan sedimentasi yang cukup parah, terlebih-lebih bila lokasi tersebut
berdekatan dengan lokasi pemukiman penduduk.
Disamping itu,
Kalimantan adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan karakteristik tanah
tipikal yang umumnya dalam proses eksplorasi lahannya memerlukan penanganan
khusus secara geoteknik. Hal ini dikarenakan kondisi tanah yang relatif
sensitif terhadap perubahan di sekelilingnya seperti akibat galian dan
perubahan cuaca.
KONDISI FISIK LAHAN PASCA PENAMBANGAN BATUBARA
Kasus-kasus
umum yang banyak terjadi pada lahan-lahan terekspose akibat galian adalah
erosi, kelongsoran dan degradasi kuat pergeseran tanah pada tanah-tanah
ekspansif. Pengupasan tanah atasan (top soil) yang dilakukan pada saat
menambang batubara, seringkali berpengaruh terhadap benih-benih yang tersimpan
alami dalam top soil tersebut yang berpotensi dalam regenerasi hutan. Erosi
adalah perpindahan dan kehilangan massa tanah yang disebabkan oleh air,
gravitasi atau angin.
Pada kegiatan
penambangan batubara, erosi diyakini banyak disebabkan oleh gaya yang berasal
dari air jatuh atau aliran air. Aliran air pada permukaan tanah membawa
partikel-partikel tanah yang telah diceraiberaikan; semakin cepat aliran pada
permukaan tanah semakin banyak pula partikel-partikel tanah yang bisa
diceraiberaikan dan dibawa oleh aliran sehingga terbentuk “riil” dan “gully”
pada daerah datar. Potensi erosi di berbagai lokasi dipengaruhi antara lain
oleh 4 faktor yaitu : (1) karakteristik tanah; (2) vegetasi yang tumbuh; (3)
topografi setempat dan (4) iklim di lokasi tersebut. (R. U. Cooke and J. C.
Doornkamp, 1990)
Sedimentasi
adalah peristiwa pengendapan partikel-partikel tanah yang telah dibawa oleh
aliran air. Sedimentasi terjadi pada saat kecepatan aliran dimana partikel
tanah menjadi suspensi melambat mencapai kondisi dimana partikel air tersebut
mengendap. Sedimentasi yang terjadi dapat menimbulkan pendangkalan pada sungai,
kolam dan penimbunan sedimen pada lokasi-lokasi tertentu. Dengan
mempertimbangkan kemungkinan bahaya atau dampak negatif yang ditimbulkan berupa
erosi dan sedimentasi, maka rehabilitasi lahan pasca penambangan batubara
mutlak harus segera dilakukan, tanpa harus menunggu kontrak kerja penambangan
berakhir.
Kondisi lahan
yang merupakan perpaduan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah, merupakan
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan revegetasi lahan pasca
penambangan batubara. Revegatasi lahan pasca penambangan tidak semudah yang
diperkirakan karena pada lahan bekas penambangan biasanya tidak mudah
memperoleh tanah atasan. Kalaupun ada, tanah tersebut seringkali tererosi,
telah menjadi padat, dan kadang-kadang masih tercampur dengan bahan tambang
kemudian permukaan tanah masih belum stabil atau sukar distabilkan. Disamping
itu keadaan lahan tersebut sangat tidak subur atau terlalu asam/basa atau
kadang-kadang mengandung senyawa toksik, (Kustiawan, 1990).
Berdasarkan
hasil penelitian di lokasi penambangan batubara PT. Multi Harapan Utama,
Jonggon, Kabupaten Kutai Kartanegara, beberapa sifat fisik dan kimia tanah yang
diambil dari kedalaman 0-20 cm lahan bekas penambangan batubara yang siap tanam
sebagai berikut : tekstur tanah cukup beragam mulai lempung sampai lempung liat
berpasir; pH tanah secara umum tergolong masam dan agak masam; kadar nitrogen
total tergolong sangat rendah; kandungan fospor tersedia cukup beragam;
kapasitas tukar kation tergolong rendah sampai dengan sedang dan nilai tukar
kation masing-masing sebagai berikut : Ca++ = beragam dari rendah, sedang
sampai dengan tinggi; Mg++ = tinggi; K+ = sedang; Na+ = tinggi. Lahan penanaman
tersebut merupakan akumulasi tanah urugan yang tercampur ketika dalam proses
penimbunan, (Kustiawan dan Sutisna, 1994).
Perkembangan
profil tanah 1, 4, dan 6 tahun setelah kegiatan penambangan berakhir tersebut
diuraikan sebagai berikut ini. Pada profil tanah bekas penambangan 1 tahun
batas lapisan A dan lapisan B relatif mudah dikenali, batas-batas lapisan
lainnya tidak jelas. Warna tanah, pada lapisan A ini adalah 7,5 YR 4/2,
sedangkan pada lapisan B adalah 7,5 YR 7/8. Struktur tanah juga menjadi hancur
akibat proses penimbunan kembali tanah di blok bekas penambangan. Lapisan sub
soil memiliki tekstur lempung berdebu dan lempung liat berpasir sedangkan
lapisan top soil mempunyai tekstur lempung liat berpasir. Tanah bekas
penambangan 1 tahun ini belum menunjukkan terbentuknya lapisan bahan organik
baru yang dihasilkan dari jenis-jenis yang ditanam di lokasi tersebut, (Padlie,
1997).
Pada profil
tanah bekas penambangan 4 tahun terdapat lebih banyak parameter-parameter yang
dapat diamati dibandingkan dengan keadaan bekas penambangan 1 tahun. Ketebalan
top soil relatif tipis yaitu 0-7 cm, warna tanah pada horison permukaan 0-7 cm
adalah 7,5 YR 4/6, pada kedalaman 7-45 cm adalah 7,5 YR 6/8, dan pada kedalaman
45-100 cm adalah 7,5 YR 4/1. Keadaan ini bila dibandingkan dengan areal bekas
penambangan 1 tahun mempunyai variasi warna yang lebih banyak. Tekstur tanah di
plot ini adalah pasir berlempung di lapisan atas dan tekstur pasir pada lapisan
di bawahnya dengan kadar fraksi pasir kasar dan sedang tertinggi 48,64% dan
terendah 31,84%. Untuk fraksi pasir halus kadar tertingginya adalah 50,91% dan
terendah 40,11%, sedangkan kadar liat tertinggi hanya 5,25% dan terendah
sebesar 1,21%. Lapisan atas tanah di plot ini (0-7 cm) berstruktur
remah-halus-lemah sedangkan pada bagian bawahnya (7-45 cm) mempunyai struktur
gumpal bersudut-halus/sedang-kuat, (Padlie, 1997).
Tanah pada
areal bekas penambangan 6 tahun, tergolong lembab dengan nilai konsistensi
sangat gembur pada lapisan atas, kuat/teguh pada lapisan bawah, dan sangat
gembur pada lapisan paling bawah. Rata-rata Bulk Density tanah pada areal
tersebut adalah sebesar 1,467 gr/cm3. Lapisan top soil pada bekas blok
penambangan ini lebih tebal dari lapisan top soil areal 4 tahun, yaitu 0-8 cm.
Warna tanah pada lapisan teratas adalah 7,5 YR 5/3 dan menjadi 7,5 YR 5/6 pada
lapisan bawah (8-30 cm). Chroma (kekuatan warna/kemurnian warna) bertambah lagi
pada kedalaman 30-78 cm menjadi 7,5 YR 5/8 dengan batas-batas horizon yang
dapat diamati dengan tegas. Tekstur tanah pada lapisan atas adalah geluh
berpasir pada bagian bawahnya bertekstur geluh berdebu. Kadar fraksi liat
tertinggi adalah 19,25% dan terendah 11,25%. Struktur tanah lapisan atas (0-8
cm) adalah remah-halus-lemah, pada bagian bawah (8-30 cm) mempunyai struktur
gumpal bersudut sedang-sedang, dan pada kedalaman paling bawah (30-100 cm)
gumpal bersudut-halus-sedang. Konsistensi tanah dalam suasana lembab pada blok
6 tahun ini tergolong sangat gembur pada lapisan atas dan gembur pada lapisan
bawah. Bulk Density rata-rata pada areal tersebut adalah sebesar 1,40 gr/cm3.
Nilai ini lebih rendah dari Bulk Density tanah 4 tahun dan cenderung mendekati
nilai Bulk Density tanah hutan sekunder terdekat (1,43 gr/cm3), (Padlie, 1997).
KONDISI BIOTIS LAHAN PASCA PENAMBANGAN BATUBARA
Sukses
terbentuknya suatu hutan terdiri dari tahap-tahap yang teratur dimulai dengan
tahap datangnya suatu jenis tumbuhan baru ke suatu tempat tumbuh yang disebut
tahap invasi, kemudian tumbuhan tadi mengadakan penyesuaian atau adaptasi, dan
setelah beradaptasi hidup bersamaan dengan tumbuhan pendatang lain, yang
disebut dengan tahap agregasi, kemudian berlanjut dengan tahap persaingan dan
bila telah mengalami keseimbangan disebut sebagai tahap stabilisasi,
(Soerianegara dan Indrawan, 1976).
Dengan
memperhatikan proses penambangan batubara yang demikian destruktif sudah dapat
diperkirakan bahwa suksesi tumbuhan alami di lahan pasca penambangan batubara
akan berjalan lambat, bila tidak ada perlakuan-perlakuan yang menstimulasi
berlangsungnya proses suksesi tersebut.
Analisis
vegetasi pada lahan bekas tambang batubara sistem terbuka yang berumur 1 tahun,
3 tahun dan 5 tahun setelah kegiatan penambangan, dilakukan di PT. Kitadin,
Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara yang hasil penelitiannya sebagai
berikut, pada lahan yang berumur 1 tahun, tanah dengan pH sangat alkalis
berwarna keputihan pada permukaan, dan beberapa centimeter dari permukaan,
tanah terlihat abu-abu kehitaman dan sangat keras, agregat tanah sangat kuat,
dibuktikan dengan sulitnya memecah bongkahan tanah dengan tangan maupun kaki.
Hal ini menunjukkan bahwa tanah pada lahan tersebut masih memiliki sifat asli
batuan. Tidak ada satupun jenis vegetasi yang tumbuh pada lahan bekas tambang
berumur 1 tahun ini, (Nuripto, 1995).
Pada lahan umur
3 tahun, kondisi tanah masih sangat keras, gersang dan berwarna kelabu, sangat
sulit ditembus air. Hal ini dibuktikan dengan adanya cekungan yang masih banyak
airnya dan tanah di sekitarnya masih lembek, meskipun hari panas. pH tanah yang
sangat tinggi yaitu 8,51 sebenarnya merupakan kondisi umum pada daerah
pertambangan, vegetasi yang terdapat pada lahan umur 3 tahun, hanya 1 jenis
vegetasi saja yaitu seri (Muntingia calabura) dari suku Tiliaceae dengan
jumlah individu perhekter 300 individu yang masih dalam tingkat pancang (tinggi
lebih dari 1,5 meter sampai diameter batang 10 cm) Rumput-rumputan mulai
terlihat hanya pada tanah-tanah yang tidak terlalu keras dan di pinggir-pinggir
lahan, (Nuripto, 1995).
Tanah pada
lahan bekas tambang umur 1 dan 3 tahun, belum menunjukkan ciri-ciri umum tanah,
karena pada lahan tersebut tidak terdapat bahan organik dan agregat masih
sangat kuat sehingga ketersediaan udara sangat minim. Agregat yang masih
sangat kuat pada lahan umur 1 dan 3 tahun juga mengakibatkan tanaman tidak
mampu tumbuh pada lahan tersebut, karena tidak tersedianya udara yang cukup
bagi kehidupan tanaman. Pada lahan berumur 7 tahun, vegetasi sudah banyak
terdapat, tetapi semua vegetasi pada areal ini daunnya berwarna kuning dan
pertumbuhannya tampak kerdil. pH tanah pada lahan ini masih cukup tinggi yaitu
8,48 (alkalis). Pada lahan ini hanya dijumpai 7 jenis tumbuhan yaitu :
sesirihan (Piper aduncum), Nuklea (Nauclea orientalis),
Laban (Vitex pubescens), Clerodendrum sp., Phychotria
viridifolia, Karamunting (Melastoma malabathricum), dan
Akasia (Acacia auriculiformis) dari 5 suku yaitu; Piperaceae, Rubiaceae,
Verbenaceae, Melastomaceae dan Fabaceae, (Nuripto, 1995).
Dari hasil
penelitian, ternyata pada lahan bekas tambang batubara umur 5 tahun, vegetasi
tingkat pancang, yang mendominasi adalah jenis Sesirihan (Piper aduncum)
dengan Nilai Penting Jenis (NPJ) sebesar 149,88% kemudian diikuti oleh Nuklea (Nauclea
orientalis) dengan NPJ 108,86% dan Akasia (Acacia auriculiformis)
menempati urutan ketiga dengan NPJ sebesar 13,92%, (Kustiawan dan
Sutisna,1994).
PEMBAHASAN
Memperhatikan
perkembangan vegetasi dan kondisi pada lahan bekas galian tambang batubara yang
telah diuraikan dimuka, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas secara
terpadu. Hasil analisis vegetasi pada lahan bekas tambang batubara sistem
terbuka yang telah berumur 1 tahun, 3 tahun dan 5 tahun setelah kegiatan
penambangan, menunjukkan bahwa sampai dengan 1 tahun, belum ada satu jenis
vegetasi yang dapat tumbuh, sedangkan pada umur 3 tahun setelah penambangan
hanya ada satu jenis tumbuhan yaitu Muntingia calabura yang baru
menginvasi lahan tersebut. Kemudian, pada lahan yang berumur 5 tahun setelah
penambangan, baru ada 7 jenis tumbuhan yang bisa tumbuh di lokasi tersebut.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sangat sukar untuk mengandalkan suksesi alami
yang hanya tergantung pada kondisi alam, diperlukan adanya sejumlah perlakuan-perlakuan
yang dapat menstimulasi atau mempercepat proses revegetasi.
Faktor-faktor
yang menyebabkan kesukaran hidupnya tumbuhan di lokasi tersebut, antara lain
adalah : (1) masih kuatnya agregat tanah/batuan timbunan yang diangkut dari
tempat-tempat galian tambang (pit), sehingga aerasi tanah sangat buruk; (2) pH
tanah terlalu tinggi, kondisi tanah yang alkalis ini kurang mendukung
pertumbuhan vegetasi; (3) kesuburan tanah secara fisik, kimia dan biologis
dinilai sangat rendah. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa penimbunan batuan
penutup yang kemudian diratakan dengan agregat tanah yang masih keras, baru
merupakan tahap awal reklamasi, yang seharusnya ditindaklanjuti oleh tahap
berikutnya yaitu penaburan timbunan tersebut dengan sub soil dan top soil sebagai
media tumbuh vegetasi. Adanya sub soil dan top soil yang mengandung bahan
organik akan turut mendukung persyaratan minimal media pertumbuhan vegetasi.
Dari hasil
pengamatan perkembangan vegetasi di lokasi pasca penambangan batubara terdapat
kecenderungan bahwa semakin lama areal bekas penambangan batubara ditinggalkan,
sifat-sifat morfologi dan fisik tanahnya secara berangsur mendekati keadaan
alami. Sifat morfologi dan fisik tanah tersebut meliputi antara lain :
pembentukan batas horison, warna horison, pembentukan struktur, distribusi liat
(tekstur), konsistensi dan bulk density tanah. Pada umumnya, tanah-tanah di
areal bekas penambangan batubara, mempunyai konsentrasi hara makro (N, P, K, Ca
dan Mg) yang rendah.
Dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan tanaman perlu adanya pemupukan, secara teknis pupuk
lambat urai dapat diunggulkan, atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain :
(1) menghemat tenaga kerja, karena frekuensi pemupukan yang biasanya diberikan
beberapa kali, dapat dilakukan dengan hanya satu kali saja; (2) aman, walaupun
diberikan dalam dosis yang tinggi; (3) pupuk terurai secara perlahan-lahan,
sehingga mengurangi resiko pencucian unsur hara pupuk; (4) ketersediaan unsur
hara dalam pupuk relatif cukup lama, sehingga tanaman relatif lebih terjamin
dari defisiensi unsur hara.
KESIMPULAN
Dalam rangka
pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta
upaya konservasi dan pelestarian sumber daya alam, kegiatan rehabilitasi lahan
pasca penambangan batubara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh
dari berbagai pihak yang terkait. Untuk mendukung hal tersebut, perlu
memanfaatkan pengalaman lapangan dan hasil studi ilmiah. Disamping itu,
dituntut kesungguhan sejak proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
pengawasan oleh pihak-pihak yang berwenang. Sehingga tujuan rehabilitasi lahan
untuk menciptakan ekosistem sesuai dengan peruntukan kawasan seperti semula
atau mendekati kondisi ekosistem hutan sebelum dilakukan penambangan batubara
tersebut dapat tercapai.
PUSTAKA
Kustiawan W.,
1990. Some Consequences of Plantation Establishment Proceeding of Regional
Seminar or Conservation for Development of Tropical Forest in Kalimantan,
Indonesia-German Forestry Project in Mulawarman University, Samarinda.
Kustiawan, W.
dan M. Sutisna, 1994. Rehabilitasi Lahan Bekas Penambangan Batubara di
Kalimantan Timur : Evaluasi Pertumbuhan Tanaman di Lahan Bekas Galian Batubara,
Laporan Penelitian PSL. Puslit Unmul, Samarinda
Nuripto, 1995. Analisis
Vegetasi Pada Lahan Bekas Tambang Batubara Sistem Terbuka di PT. Kitadin,
Embalut, Kabupaten Kutai. Skripsi Fakultas Kehutanan Unmul,
Samarinda
Padlie, 1997. Pengkajian
Sifat-sifat Tanah pada Areal Bekas Penambangan Batubara Terbuka 1, 4 dan 6
Tahun, di PT. Multi Harapan Utama, Bukit Harapan, Kabupaten Kutai. Skripsi
Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda
R. U. Cooke and
J. C. Doornkamp, 1990. Geomorphology in Environmental Management,
Clarendon Press, Oxford
Sarwono
Hardjowigeno, 1985. Kalsifikasi Tanah, Survei Tanah, dan Evaluasi Kemampuan
Lahan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Stefanko, R,
1983. Coal Mining Technology Theory & Practice. Published by Society
of Mining Engineers of The American Institute of Mining, Metallurgical, and
Petroleum Engineers Inc New York, New York
Soerianegara,
I. dan Indrawan, 1976. Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar